07/12/2016

Mimpi ke Bali

Melihat Bali lebih dalam dengan traveling atau stay? Saya ingin keduanya.

Berjalan menelusuri sepanjang jalan Legian sampai Kuta pernah saya lakukan di sela-sela waktu seusai dinas. Saya telusur terus sampai ujung Legian. Lelah tapi tak apa. Saya sendirian di tengah keramaian Legian.

Menyusuri mencari bubble drink kesukaan dengan smartphone mengandalkan peta digital. Lelah dan ternyata saya nyasar! Saya dengan berani dan percaya diri berjalan dengan peta digital di tangan dan satu dua kali bertanya penduduk setempat. Saya ingin sekali membeli bubble drink di gerainya langsung di Kuta. Alhasil saya tidak menemukan apa-apa setelah jauh berjalan dan orang-orang yang saya gali informasinya itu ternyata tidak tahu tempat yang saya tuju.

Akhirnya saya kembali dengan berjalan kaki dan berbalik arah. Sambil melihat dan merasakan suasana Legian malam itu. Sendiri. Saya iseng pula mencari tahu cara sewa sepeda motor. Namun saya tidak bisa menyewa karena semua tempat penyewaan sudah tidak bisa memberikan jasanya di atas pukul 18 WITA. Baiklah. Saya terus berjalan.

Hmm aroma bakaran dupa memenuhi indera penciuman saya. Tidak heran, ini Bali.

Saya merindukannya, aroma bakaran dupa sesaat tiba di I Ngurah Rai Airport dan sepanjang jalan di Legian - Kuta. Harum dan hangat. Bali harum dan hangat. Menurut informasi yang pernah saya dengar Legian dan Kuta masih desa bukan kota. Namun sifat kedesaan itu tak nampak jika sudah berada di sana, apalagi pada malam hari. Ramai. Café, bar, restoran, dan toko belanja serta hotel berjejer di sana. Saya suka di sana karena lebih banyak yang berjalan kaki dibandingkan yang menggunakan kendaraan bermotor.

Sayang sekali saya hanya ke sana hanya demi menuntaskan pekerjaan luar kota secara berkala. Bukan untuk berkunjung demi berlibur seminggu di Bali.

Bermimpi tinggal di Bali sangat terbayang-bayang di kepala. Daerah kecil yang jauh dari hiruk pikuk di desa yang jauh dari kota sangat saya idamkan. Ada sawah, sungai, gunung, dan tentu pantai. Senang rasanya kalau berada di sana setiap hari. Ah. Hanya mimpi. Menabung dulu ya!

Menabung untuk biaya akomodasi dan jalan-jalan. Juga menabung untuk membeli... Hmm... Apa ya... Kamera!!! Saya sangat menyukai fotografi. Parah suka sekali! Tidak repot, kamera saku saja dengan spesifikasi menuju kamera DSLR juga lumayan ga bikin keki kalau-kalau hasrat melihat sebuah objek untuk dipotret. Sekali jepret langsung lihat hasilnya ketje! Mauuuu.. juga go pro, sekarang harganya murah-murah untuk mendapatkan objek foto yang lebih luas. Mauuuu..

Ingat! Harus menabung ya! Hmm..

Semoga nanti kesampaian dan dapat menjadi nyata tinggal di Bali. Hmm :D

Kamera. Smartphone + digital maps. Jalan-jalan di Bali!!! (juga berdoa agar terkabul) :D

12/09/2016

Resensi Buku Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan

Judul Buku: Porn(o) Tour: Sisi Lain Sebuah Perjalanan
Pengarang: Nurdiyansah Dalidjo
Penerbit: Metagraf
Tempat Terbit: Solo
Tahun Terbit: 2015
Cetakan: Pertama, Januari 2015
Ukuran: 21 cm
Jumlah Halaman: vi, 274
ISBN: 978-602-257-108-7
Harga: Rp 55.000

***

Porn? Tour?

Buku ini sungguh menarik perhatian karena menggunakan kedua kata tersebut dalam menentukan judul buku. Ditambah dengan selipan huruf 'O' setelah kata porn. Apa kira-kira yang akan tersirat di benak orang yang sekedar melihat judulnya saja? Kalau bukan bahwa buku ini berisikan wisata seks beserta panduannya. Awas jangan salah menebak!

Bahwa betul buku ini memang berisikan "porn(o)". Porn di dalam buku ini diartikan sebagai ketelanjangan. Ketelanjangan dalam objek wisata khususnya di Indonesia yang diakibatkan oleh pengelola dan turis objek wisata itu sendiri. Dan ketelanjangan ini dirangkaikan ke dalam tulisan dan beberapa gambar hitam putih di setiap bab dalam buku ini. Wait! Bab? No, dalam buku ini "bab" diganti dengan kata "destinasi".  Substitusi kata tersebut menjadikan buku ini membawa pembaca ke dalam tujuan-tujuan wisata atau makna dan situasi dalam setiap tempat yang dikunjungi oleh penulis. Silakan berkunjung bersama sang penulis dari Destinasi 0 hingga Destinasi 11 di dalam buku ini.

***

Penulis sudah banyak mengunjungi lokasi-lokasi wisata dan tidak sekedar berkunjung. Penulis dengan nyinyir tidak segan menunjukkan adanya ketidakberesan beberapa tempat wisata di Indonesia.

Diawali dengan wisata Gunung Bromo yang sangat terkenal yang pastinya akan ada banyak hal positif dan negatif yang sudah ia temukan di sana sampai Candi Badut yang kurang tenarpun memiliki kisah menyedihkan yang menghilangkan suasana yang seharusnya dapat dirasakan jika berada di bangunan candi.

Penulis juga menyorot masyarakat adat di setiap daerah yang ia kunjungi. Berbincang dengan warga sekitar yang selalu diawali dengan menanyakan arah, karena penulis mengakui dirinya kurang hatam dalam hal navigasi. Perbincangan dengan warga akan selalu membuka khasanah baru bagi wisatawan dibandingkan hanya berkunjung ke lokasi wisata kemudian berfoto lalu pulang. Dan dari sana penulis mengetahui apa yang dialami masyarakat adat dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Ada hal yang unik dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang merasa dirinya adalah orang berdarah daerah tempat ia lahir, padahal sama sekali tidak ada jenis suku itu dalam silsilah keluarganya. Penulis menemukan hal ini di Palembang, tidak menutup kemungkinan ini juga terjadi di daerah lain. Tempat lahir menjadi darah dan daging. Begitu cinta dengan tanah kelahiran. Rasa kedaerahan sangat tinggi di setiap individu. Semoga rasa nasionalisme juga sama besarnya di setiap warga Indonesia walaupun banyak perbedaan suku, ras, agama, juga orientasi seksualnya.

Penulis juga kritis dalam membahas setiap lokasi wisata yang ia kunjungi dengan begitu ia secara tidak langsung mengedukasi pembaca (yang pastinya juga traveller atau traveller wanna be) untuk lebih memahami apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sebuah objek wisata. Pada dasarnya ialah menghargai setiap tempat yang dikunjungi beserta para masyarakat sekitarnya. Dan menghargai harus dalam bentuk perbuatan yaitu tidak membuang sampah sembarangan dan berlaku sopan juga tidak merusak cagar budaya. Bahkan sebaiknya sampah yang dibawa pengunjung dibawa kembali ke asalnya sehingga tidak mengotori tempat wisata. Mengingat setiap kegiatan travelling meninggalkan carbon footprint yang berkontribusi pada pemanasan global karena manusia adalah sumber emisi gas karbon dioksida maka disarankan oleh penulis untuk menggunakan kendaraan umum atau berjalan kaki karena paling besar polusi disebabkan oleh transportasi.

Tak hanya itu saja , penulis juga membuka pikiran para pelancong mengenai human trafficking dengan menolak service yang diberikan oleh anak-anak di bawah umur di bidang pariwisata. Dan juga menolak mengonsumsi daging hewan-hewan dilindungi sekalipun itu akan memberikan pengalaman baru nan unik. Karena sebagai rantai makanan teratas, para pengunjung dapat menghentikan hal-hal yang mengacaukan ekosistem yang sudah ada sejak lama. Sebagaimana hukum ekonomi, ada permintaan ada penawaran, semakin tinggi yang meminta juga otomatis banyak juga penawaran. Traveller sebaiknya lebih bijaksana untuk mengurangi atau menghentikan permintaan untuk hal-hal demikian.

***

Sebagai penyuka bacaan mengenai travelling, baik blog atau buku, saya menyarankan buku ini dapat dimiliki setiap individu yang mencintai lokasi-lokasi indah di Indonesia. Mungkin tak ada ruginya menambah wawasan dengan perspektif berbeda tentang keindahan negeri ini. Mungkin kamu juga dapat seperti Nurdiyansah Dalidjo mengisahkan pengalaman melancong yang dirangkai ke dalam sebuah buku dengan lokasi indah lainnya beserta perspektif yang berbeda pula.

“A traveler without observation is a bird without wings.” – Moslih Eddin Saadi ( Quote ini untuk Nurdiyansah Dalidjo, yang sudah mengikhlaskan satu bukunya untuk saya baca dan renungkan ) Terima kasih! Enjoy reading and traveling! :)